Minggu, 22 Agustus 2010

Waspadai Insiden Bintan Berakhir Seperti Sipadan Ligitan

Jakarta (ANTARA) - Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana meminta Pemerintah mewaspadai insiden pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di perairan Bintan, Kepulauan Riau, berakhir seperti kasus Sipadan dan Ligitan.

"Perlu kita cermati secara mendalam, insiden perairan Bintan jangan sampai menjadi strategi untuk mengklaim perairan Bintan sebagai wilayah kedaulatannya," kata Suhana di Jakarta, Kamis.

Seperti diketahui hingga saat ini perundingan perbatasan Indonesia dengan Malaysia di perairan Bintan tempat terjadinya insiden masih mengalami kebuntuan, ujar Suhana. Untuk itu Pemerintah perlu tegas terhadap sikap Malaysia atas insiden tersebut.

Menurut dia, Pemerintah Malaysia sebelumnya juga pernah mengklaim wilayah perairan tersebut sebagai wilayah kedaulatannya dengan mengeluarkan peta, namun Pemerintah Indonesia sudah melayangkan penolakan atas peta tersebut.

Namun demikian upaya Malaysia untuk mengklaim perairan tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu, mereka terus melakukan berbagai upaya untuk menunjukkan bahwa perairan tersebut masuk kedalam kedaulatan mereka, lanjutnya.

"Karena itu jangan sampai kelengahan pengawas perikanan Indonesia dimanfaatkan. Kita tahu bahwa jumlah hari operasi Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan tahun 2010 ini mengalami penurunan dari 180 hari menjadi 100 hari, akibatnya pengawasan pencurian ikan di perairan Indonesia menjadi lengah," tegas Suhana.

Sehingga tidak heran kalau aktivitas pencurian ikan di perairan Indonesia saat ini cenderung meningkat, katanya.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukan bahwa sampai akhir Juni 2010 tercatat dari 116 kapal ikan ilegal yang tertangkap kapal pengawas perikanan, 112 diantaranya merupakan kapal ikan asing, termasuk kapal Malaysia.

Berkurangnya hari operasi kapal pengawas tersebut, ia berpendapat sebagai dampak dari kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yang merealokasi anggaran di (KKP) Tahun 2010.

"Kami menduga ada kesengajaan lima kapal nelayan Malaysia melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Bintan. Karena bila tidak ada tindakan protes dari aparat Indonesia, mereka dapat mengklaim perairan tersebut merupakan wilayah kedaulatannya," lanjut Suhana.

Ia mengatakan jika melihat kembali dokumen beralihnya Pulau Sipadan dan Ligitan, di mana perundingan Indonesia dan Malaysia saat itu mengalami kebuntuan dan akhirnya disepakati status quo.

Namun dalam kondisi status tersebut Pemerintah Malaysia telah memanfaatkan kelengahan Pemerintah Indonesia atas pengawasan terhadap kedua pulau tersebut dengan cara memberikan izin untuk membuat berbagai sarana wisata.

"Upaya tersebut berhasil dilakukan karena tidak ada protes dari Pemerintah Indonesia," tegasnya.

Dalam Sidang Mahkamah Internasional Tahun 2002, sempat memutuskan bahwa tidak satu pun dari Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang berhak atas Pulau Ligitan dan Sipadan berdasarkan traktat.

Namun pertimbangan Mahkamah selanjutnya berpihak pada yang memiliki hak kepemilikan (title) atas pulau-pulau sengketa berdasarkan penguasaan efektif (effectivites) yang diajukan oleh mereka.

Dalam kaitan ini, Suhana menjelaskan Mahkamah menentukan apakah klaim kedaulatan para pihak berdasarkan kegiatan-kegiatan yang membuktikan adanya suatu tindakan nyata, pelaksanaan kewenangan secara terus menerus terhadap kedua pulau, antara lain misalnya (adanya) itikad dan keinginan untuk bertindak sebagai perwujudan kedaulatan.

Berdasarkan effectivites tersebut maka pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengakui penguasaan efektif yang telah dilakukan oleh Pemerintah Malaysia atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, dan selama penguasaan efektif tersebut tidak ada gugatan atau protes dari pemerintah Indonesia.

"Karena itu kami mendesak Pemerintah untuk tegas dalam perundingan terkait perbatasan, segera meningkatkan pengawasan di perbatasan, dan menekan negara lain yang tidak segera menyelesaikan perundingan perbatasan dengan meninjau kembali kerja sama yang telah dilakukan dua negara," ujar Suhana.

Sumber : ANTARA

Sabtu, 14 Agustus 2010

13 Angka Sial ?

Kita kadung gandrung dengan angka-angka, dengan perhitungan. Mau menikah, hampir seluruh anggota keluarga hibuk pilah-pilih hari. Ingin punya nomor ponsel baru, jejarian lekas tangkas bongkar tumpukan kartu SIM di gerai pulsa. Bahkan kadang hati ini tergerak juga untuk mengkalkulasi nama yang kita sandang: Membawa peruntungankah ia, atau justru bikin buntung?

Kita bisa menyebut kecenderungan semacam itu sebagai efek dari numerologi, yang dijabarkan Wikipedia sebagai suatu sistem, tradisi, atau kepercayaan akan adanya ikatan mistis antara angka-angka dengan benda-benda atau makhluk hidup. Para ahli numerologi percaya bahwa segala yang terhampar di bumi dapat diubah ke dalam bentuk angka. Tiap angka mewakili spektrum maha luas yang mencakup hal-hal positif dan membangun serta elemen-elemen negatif yang meluluhlantakkan.

Banyak yang menahbiskan Pythagoras sebagai bapak dari numerologi barat, seperti dapat dibaca di buku The Complete Idiot's Guide to Numerology. Sebuah adagiumnya menegaskan pengakuan itu: "Dunia dibangun di atas kekuatan angka-angka."

Namun sesungguhnya praktik numerologi telah jauh lebih tua dari umur dari sang bapak. Sebutlah misalnya aksara Ibrani, yang berdasar atas angka-angka. Pun, dalam kebudayaan Yunani, angka-angka tertentu dianggap lebih mulia atau nista dari yang lainnya. 888 dianggap sebagai menyimbolkan pikiran sang Maha. Variasi bahasa Yunani atas Yesus - 'lesous' - tegak lurus dengan angka 888. Angka 666 mewakili sang Fana. Perjanjian Baru menyebut 666 sejajar dengan Iblis.

Praktik dari numerologi, yang dianggap sebagai tingkatan terendah, menyentuh aspek magis angka-angka, yang hasilnya kerap dianggap sebagai ramalan. Pythagoras tak menyarankan hal itu. Tapi, masih banyak pihak yang mengaitkan praktik yang menjurus klenik itu dengannya.

Contoh dari praktik serupa dapat terlihat dari kepercayaan yang berkembang di Cina. Dalam tradisi bangsa itu, angka 4 (empat) dianggap membawa kesialan karena secara fonetis bunyinya mirip dengan kata 'mati' (bahasa Kanton). Itu yang bikin banyak gedung yang menyundul langit jakarta tak mengimbuhkan satuan 4 di pada lift, hanya jika pemiliknya warga keturunan Tionghoa.

Namun, uniknya, angka 4 dalam bahasa Shanghai bunyinya seturut dengan kata 'air', yang dianggap hoki, karena air dianggap punya hubungan dekat dengan uang.

Kiranya, tidak ada yang melebihi popularitas angka 13 dalam hubungannya dengan takhyul. Dunia mesti berterima kasih terhadap film-film produksi Hollywood yang telah menyebarkan kepercayaan masyarakatnya atas angka 13. Dalam kepercayaan itu, segala yang mengungkit angka 13 akan dihindari: Tanggal 13 (terutama Jumat, seperti hari ini), lantai ke 13, meja tamu berjumlah 13, dan seterusnya.

Bahkan, seperti yang diterakan dalam about.com, ada legenda yang beredar yang mengatakan bahwa jika ada 13 orang duduk semeja ketika makan malam, salah satunya akan mati pada tahun itu. Bangsa Turki lebih nekat lagi. Saking sebalnya mereka dengan 13, mereka tega menghilangkan kata untuk angka itu dari kamus.

Jangan tersenyum dulu. Kini saatnya anda menghitung jumlah huruf pada nama anda. Jika jumlahnya 13, anda akan meraih keberuntungan yang dikaruniakan oleh setan. Simaklah nama penjahat kelas kakap dunia ini, yang terdiri atas 13 aksara: Jack the Ripper, Charles Manson, Jeffrey Dahmer, Theodore Bundy, dan Albert De Salvo.

Mereka yang bergidik dengan angka 13 tercatat menderita Triskaidekaphobia. Dan, mereka yang cemas dengan hari Jumat yang bertanggal 13 disebut menderita paraskevidekatriaphobia. Konon, ketakutan yang mereka alami itu disebabkan oleh hal-hal berikut, seperti dikutip dari situs Associated Content:

  • Bangsa Ibrani kuno menganggap 13 sebagai angka sial sebab huruf ketiga belas dalam alfabet Ibrani merupakan aksara 'M', huruf pertama kata 'mavet', yang artinya kematian.
  • Last Supper yang termasyhur itu dihadiri oleh 13 orang. Judas adalah yang pertama berdiri, pun yang pertama wafat.
  • Para Ksatria Templar ditangkap dan dieksekusi pada tanggal 13 Oktober 1307.
  • Di tengah masyarakat yang patriarkal, 13 dianggap sebagai angka feminin dan karenanya dianggap pembawa sial.
Dikutip dari : VIVAnews